PROFIL RSUD KUDUS

Sejarah Awal Pembangunan dan Pengembangan RSUD

Rumah Sakit Umum Kudus didirikan tahun 1928 oleh Pemerintah Hindia Belanda, dan Direktur pertama adalah dr. C.Van Proosdy. Pada tahun 1942, Jepang masuk dan menguasai Hindia Belanda, sehingga Rumah Sakit Umum  Kudus juga dikuasai Jepang. Pada tahun 1945 Jepang kalah perang dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, dengan demikian Rumah Sakit Umum berada di bawah kekuasaan pemerintahan Indonesia. Selama pemerintahan Jepang, Rumah Sakit Umum Kudus dipimpin oleh d Lie Gik Djing, dr.R.SW.Roroem dan dr. Tjia, kemudian setelah Jepang pergi, pada tahun 1946 Rumah Sakit Umum Kudus dipimpin oleh dr. Loekmonohadi.
Rumah Sakit Umum Kudus juga digunakan untuk tempat kuliah dan praktek oleh Perguruan Tinggi Kedokteran (PTK), sehingga Rumah Sakit Umum Kudus selain melaksanakan pelayanan kesehatan juga sebagai tempat pendidikan Dokter, bidan dan perawat.
Pada tahun 1983, berdasarkan Surat Keputusan Bupati Daerah Tingkat II Kudus tanggal 9 September 1983 Nomor 061/433/1983 tentang susunan organisasi dan tata kerja Rumah Sakit Umum  menetapkan bahwa Rumah Sakit Umum Kudus merupakan Rumah Sakit kelas C yaitu Rumah Sakit Umum yang melaksanakan pelayanan kesehatan paling sedikit 4 (empat) cabang spesialisasi yaitu : Penyakit Dalam, Bedah, Kebidanan dan Penyakit Kandungan serta Kesehatan Anak.
Pada tahun 1991, berdasarkan Keppres Nomor 38/Keppres.SK/VIII/1991 tanggal 26 Agustus 1991 tentang Unit Swadana dan tata cara pengelolaan keuangan Rumah Sakit Umum Kudus. Hal ini dimaksudkan agar Rumah Sakit Umum Kudus dapat meningkatkan  pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Kudus melalui Peraturan Daerah Kabupaten Kudus nomor 17 Tahun 1992 tentang Penetapan Rumah Sakit Umum Kabupaten Daerah Kudus menjadi Rumah Sakit Unit Swadana Daerah dimana Rumah Sakit berwenang untuk mengelola dan menggunakan penerimaan fungsionalnya secara langsung.
Pada tahun 1993, berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kudus Nomor 1884/306/1993 tentang uji coba Rumah Sakit Umum Kabupaten Dati II Kudus sebagai Unit Swadana dan tata cara pengelolaan keuangannya.
Pada tahun 1994, keluar Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 22/Mendagri/SK/III/1994 tanggal 22 Maret 1994 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Rumah Sakit Umum Daerah.
Pada tahun 1995, dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1997/Menkes/SK/I/1995 tanggal 30 Januari 1995 tentang peningkatan kelas Rumah Sakit Umum Daerah milik Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Kudus dari Rumah Sakit Umum kelas C menjadi Rumah Sakit Umum kelas B Non Pendidikan.
Pada tahun 1996, keluar Keputusan Bupati KDH Tingkat II Kudus No.445/526/1996 tanggal 6 Pebruari 1996 tentang Penetapan Kelas Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Dati II Kudus dari Kelas C menjadi Kelas B Non Pendidikan.
Pada tahun 1997, keluar Perda Kabupaten Dati II Kudus No.3 Tahun 1997 tanggal 5 Pebruari 1997 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah Sakit Uumum Daerah  Kabupaten Dati II Kudus.
Perda tahun 2001, keluar Keppres No.20 tahun 2001 tentang Pedoman Kelembagaan dan Pengelola Rumah Sakit Daerah dan pada tahun 2002 keluar Keputusan Mendagri No. 1 tahun 2002 tanggal 24 Januari 2002 tentang Pedoman Susunan Organisasi dan Tata Kerja Rumah Sakit Daerah.
Pada tahun 2002, keluar Perda Kabupaten Kudus No. 4 tahun 2002 tanggal 8 Juli 2002 tentang Organisasi Tata Kerja Badan Rumah Sakit Daerah Kabupaten Kudus.Pada tahun 2003, keluar Keputusan Bupati Kudus No. 5 tahun 2003 tanggal 25 Januari 2003 tentang Uraian Tugas Badan Rumah Sakit Daerah Kabupaten Kudus.
Pada  tahun 2008 keluar Perda Kabupaten Kudus No. 15 tahun 2008 tanggal 30 Desember 2008 tentang Organisasi Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Satuan Polisi PamPraja dan Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Kudus.


Artikel Lainnya:

Isu Pembangunan Kesehatan


Kesehatan Gigi Nasional Perspektif Masa Depan


Program pemberdayakan daerah pada penyelenggaraan pembangunan kesehatan pada awalnya diharapkan melalui bentuk program desentralisasi, namun dalam kenyataannya belum sepenuhnya berjalan dan bahkan memunculkan euforia di daerah yang mengakibatkan pembangunan kesehatan termasuk kesehatan gigi menjadi terkendala.
Beberapa isu satrategis penting yang dihadapi  pembangunan kesehatan dewasa ini termasuk kesehatan gigi dan mulut adalah: 1) Perubahan epidemiologis dan demografi, dimana derajat kesehatan masyarakat pada umumnya masih rendah, 2) Mutu, pemerataan dan keterjangkauan upaya tenaga kesehatan yang belum optimal,  perhatian pada masyarakat miskin, rentan, dan beresiko tinggi masih kurang memadai, dan 3) Penelitian dan pengembangan kesehatan secara menyeluruh belum sepenuhnya menunjang pembangunan kesehatan.
Dalam hubungan isu strategis tersebut, terdapat dua tingkat pengambil keputusan dalam ranah kebijakan, termasuk kebijakan kesehatan secara fundamental dalam perspektif konsep pemerataan kesehatan. Tingkat pertama mencakup pengembangan parameter yang luas bagi tindakan-tindakan pemerintah, seperti penyediaan jaminan kesehatan nasional dan kematangan lembaga keuangan negara dalam hal efisiensi pembiayaan kesehatan.
Konsep pertama mengenai pemerataan pelayanan kesehatan tercermin pada kebijakan pembiayaan kesehatan tahun 2000-2007 yang telah berhasil memperbaiki pemerataan sosial ekonomi masyarakat. Sebelum terjadinya krisis ekonomi, rumah sakit pemerintah maupun swasta cenderung hanya digunakan oleh kalangan yang mampu, dan di satu sisi sebagian besar masyarakat miskin, belum mampu memanfaatkan fasilitas  pelayanan kesehatan dikarenakan oleh berbagai faktor termasuk keterbatasan sumber daya.
Kondisi ini dapat menjelaskan kita bahwa kebijakan jaminan pendanaan seperti jaring pengaman sosial bidang kesehatan dan asuransi kesehatan miskin berhasil mengurangi hambatan bagi masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara merata dan terjangkau.  Adanya program perlindungan kesehatan bagi masyarakat mempunyai arah positif menuju semakin terlindunginya setiap level masyarakat.
Namun di sisi yang lain, data tentang akses dan kualitas kepelayanan dasar (puskesmas) dan pelayanan rujukan (rumah sakit) serta pemerataan sumber daya manusia, masih menunjukkan gejala ketidak merataan secara horizontal. Jumlah sarana pelayanan kesehatan gigi termasuk sumber daya manusia (dokter gigi dan perawat gigi) tidak terdistribusi secara merata di berbagai daerah dan kualitas pelayanan kesehatan gigi juga masih berbeda sesuai dengan letak geografis daerah masing-masing yang sulit terjangkau.
                
Kebijakan Strategis
Keadaan inilah yang perlu mendapat perhatian serius bagi pemegang kebijakan strategis di sektor kesehatan, termasuk di dalamnya unsur pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Perlu untuk memahami bagaimana teori equity (pemerataan) pelayanan kesehatan berjalan sesuai dengan harapan Permenkes 971 Tahun 2009, tentang  standar kompetensi pejabat struktural kesehatan.  Konsep kedua tentang keuangan negara dalam hal ini mencakup desain pembiayaan kesehatan di Indonesia.
Pembiayaan kesehatan sudah semakin meningkat dari tahun ke tahun. Persentase pengeluaran nasional sektor kesehatan pada tahun 2005 adalah sebesar 0.81% dari Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat pada tahun 2007 menjadi 1.09 % dari PDB, meskipun belum mencapai 5% dari PDB seperti dianjurkan WHO. Demikian pula dengan anggaran kesehatan, pada tahun 2005 besar APBN kesehatan adalah Rp 11.114 triliun, meningkat menjadi Rp 18.750 triliun pada tahun 2007. Anggaran kesehatan per kapita bersumber dari APBN kesehatan dan dana alokasi khusus pada tahun 2005 adalah Rp 15.772 meningkat menjadi Rp 32.975 pada tahun 2007.
Pembelanjaan kesehatan masih didominasi pembelanjaan publik (49,6%) berbanding pemerintah (50,4%). (WHO, 2008). Tiga puluh persen dari pembiayaan tersebut bersumber dari pemerintah dan sisanya sebesar 70% bersumber dari masyarakat termasuk swasta, yang sebagian besar masih digunakan untuk pelayanan kuratif. Pengalokasian dana bersumber pemerintah yang dikelola oleh sektor kesehatan sampai saat ini juga belum begitu efektif dan lebih banyak dialokasikan pada upaya kuratif.
        
Belum Adil
Sementara itu besarnya dana yang dialokasikan untuk upaya promotif dan preventif masih sangat terbatas. Pembelanjaan dana pemerintah belum cukup adil untuk mengedepankan upaya kesehatan masyarakat dan bantuan untuk keluarga miskin. Mobilisasi sumber pembiayaan kesehatan dari masyarakat masih terbatas serta bersifat perorangan (out of pocket). Jumlah masyarakat yang memiliki jaminan kesehatan masih terbatas, yakni kurang dari 20% penduduk. Pembiayaan kesehatan di Indonesia tahun 2000 masih sebesar   Rp 171.511, sementara Malaysia telah mencapai 374 dolar. Dari segi capital expenditure (modal yang dikeluarkan untuk penyediaan jasa kesehatan) untuk sektor kesehatan, pemerintah hanya mampu mencapai 2,2 persen sementara Malaysia sebesar 3,8 persen. Kondisi ini masih jauh dibanding Amerika Serikat yang mampu mencapai 15,2 persen pada 2003 (Adisasmito, 2008).
Program pemberdayakan daerah pada penyelenggaraan pembangunan kesehatan pada awalnya diharapkan melalui bentuk program desentralisasi, namun dalam kenyataannya belum sepenuhnya berjalan dan bahkan memunculkan euforia di daerah yang mengakibatkan pembangunan kesehatan termasuk kesehatan gigi menjadi terkendala.
Dua konsep kebijakan di atas menurut kami telah cukup kompeten dalam memberikan ekspektasi yang besar bagi sebuah keadilan dalam mendapatkan pemerataan dan keterjangkauan upaya pelayanan kesehatan bilamana dipergunakan secara maksimal dan  tepat sasaran, terkhusus lagi pada pemerataan kesehatan gigi dan mulut yang hingga dekade ini masih terpinggirkan dan belum terjamah secara maksimal oleh pengambil sistem kebijakan.
Konsep pemerataan kesehatan yang yang diamanatkan oleh undang-undang dasar 1945 dan peraturan pemerintah dengan perangkat rumah sakit dan puskesmas sebagai ujung tombaknya. Menurut pengamatan dan pencermatan kami sebagai praktisi dan klinisi di bidang kedokteran gigi dan pelaku langsung masih belum memberikan gambaran kerangka dasar utuh bagi kebutuhan kesehatan secara nasional.
Kemudian menyentuh bidang kesehatan gigi secara proporsional dan berkesinambungan, meskipun berbagai perangkat data dan fakta aktuil termasuk riset kesehatan dasar 2007 sudah sangat jelas mencerahkan kita akan fenomena kesehatan gigi dan mulut,  meski tidak ditindaklanjuti lagi penyempurnaannya pada uraian data riset kesehatan dasar 2010. Parameter prevalensi dan cakupan yang kemudian dibahas secara terperinci menurut bidang masing-masing program kesehatan sebagai titik dasar dan landasan berpikir menuju pencapaian tujuan pembangunan milenium belum merangkul satu sisi yang tidak juga kalah pentingnya yaitu kesehatan gigi dan mulut secara lebih detail.


Artikel ini telah tayang di tribun-timur.com dengan judul Kesehatan Gigi Nasional Perspektif Masa Depan, https://makassar.tribunnews.com/2012/10/20/kesehatan-gigi-nasional-perspektif-masa-depan.

Editor: Aldy


Artikel Lainnya: